Selasa, Februari 26, 2008

Ada Pinjaman Rp. 1 Triliun

Sektor pertanian
Kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian nasional salah satunya dapat ditelusuri melalui share pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari data Badan Pusat Statistik dapat diketahui bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap GDP pada posisi akhir tahun dari tahun 2002 sampai dengan 2006 secara rata-rata sebesar 14,28%. Sedangkan pada posisi akhir 2007 kontribusinya naik menjadi 13,83%. Berikut ini adalah tabel kontribusi tersebut.



Sampai saat ini belum ada skim kredit pertanian yang benar-benar sesuai untuk kebutuhan petani dalam kegiatan produksi dan distribusi pertanian dan berkembang menjadi skim kredit andalan bagi bank. Apalagi petani yang umumnya petani kecil membutuhkan pembiayaan atau kredit bukan hanya untuk pertanian, akan tetapi juga untuk non pertanian, konsumsi dan tujuan lainnya.

Sedangkan dari sisi perbankan, praktek kredit umumnya memakai pola pinjaman yang mahal dan tidak sesuai dengan usaha mikro kecil, sehingga petani mengalami kesulitan untuk mengakses kredit formal. Persoalan project appaisal yang terlalu mahal untuk petani, tidak dimillikinya sistem pencatatan usaha, serta ketiadaan jaminan atau agunan material menjadi persoalan yang membuat bank komersil selalu berada di luar arena pelayanan kredit petani kecil.

SP3 sebesar Rp 1 triliun
Mulai tahun 2006 pemerintah mengeluarkan skim kredit dan pembiayaan baru yang dinamakan Skim Pelayanan Pembiayaan Pertanian (SP3). SP3 ini merupakan upaya pemerintah untuk mengatasi kendala akses yang diakibatkan tidak adanya kemampuan petani/kelompok tani/gabungan kelompok tani menyiapkan agunan yang dipersyaratkan oleh perbankan.
Prinsip dasar rancangan skim ini adalah untuk mengatasi kesulitan petani kecil menyediakan agunan (collateral) guna menumbuhkan usaha petani/peternak yang berbasis masyarakat pedesaan.

Akan tetapi kenyataan di lapang, bahwa skim pelayanan
pembiayaan pertanian (SP3) yang dialokasikan Deptan senilai total Rp 1 triliun tersebut, sejak September 2006 hingga Oktober 2007, tenyata baru tersalurkan 30,8% atau hanya Rp 308 miliar (Sukur, 2007). Berikut adalah realisasi penyaluran dana SP3 per akhir Oktober 2007, berdasarkan bank penyalur dan skala kreditnya.

Identifikasi permasalahan dan pendekatan teoritis
Dari hasil identifikasi penyebab rendahnya respon petani, maka didapat tiga permasalahan pokok pelaksanaan SP3 yaitu : Persyaratan agunan, plafon dan bunga pinjaman, serta kesiapan pihak perbankan. Jika dilakukan pendekatan teoritis menggunakan teori pasar kredit untuk menjelaskan permasalahan pokok tersebut, maka didapat hasil sebagai berikut:

Pendekatan Informasi Asimetrik

  1. SP3 tidak membebaskan calon debitur dari kewajiban menyiapkan agunan material. Contohnya debitur yang mengajukan pembiayaan mikro sebesar Rp. 50 juta, maka debitur masih harus menyediakan 60% dari nilai agunan yang dipersyaratkan bank, sedangkan sisanya, ditanggung pemerintah. Dampaknya petani yang tidak dapat menyediakan agunan tidak mampu mengakses pembiayaan, akibatnya yang mampu mengakses pembiyaan adalah orang yang punya agunan yaitu petani yang kaya, maka terjadi Adverse Reserve (debitur resiko tinggi masuk) yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian, terjadi Incentif incompatibility (Insentif ke arah yang salah) dan berpeluang besar terjadi Moral Hazard (Digunakan untuk tujuan lain) sehingga kredit mengalami masalah di kemudian hari.
  2. Sejalan dengan penjelasan pertama, penetapan plafon Rp. 50 juta untuk pembiayaan mikro ternyata tidak mampu diakses oleh petani miskin, karena yang mampu mengakses adalah petani kaya dengan pembiayaan rata-rata Rp. 300 juta, sehingga terjadi terjadi Adverse Reserve yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian, terjadi Incentif incompatibility. Sedangkan pengenaan bunga kredit yang 2% di bawah yang berlaku akan berpotensi terjadi aktifitas rent seeking, akibatnya akan terjadi Adverse Reserve yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian.
  3. Akibat terbatasnya pengetahuan dari sumber daya manusia di bank terhadap sektor pertanian, dan sebaliknya pengetahuan dan persepsi petani pada perbankan maka terbuka peluang masuknya aktifitas hubungan koneksi dangan pejabat yang berwenang dalam lembaga perkreditan maupun dengan lembaga pemerintah. Sehingga fenomene free rider (Tidak mau membayar pinjaman) dan rent seeking akan merajalela.
Pendekatan Biaya Transaksi
  1. Dengan mensyaratkan agunan material maka memperbesar terjadinya Negotiation Costs dan Enforcement Costs (Biaya melaksanakan transaksi) bahkan memperbesar terjadinya non-marketted transaction cost.
  2. Plafon kredit mikro sampai dengan Rp. 50 juta untuk petani miskin tidak mendapat respon karena terjadi economics of scale dari kedua pihak yaitu bank dan petani miskin. Sedangkan karakteristik bunga pinjaman yang tidak fixed akan berpeluang meningkatkan Enforcement Costs dan Bribing officials (Menyuap petugas bank).
  3. Akibat terbatasnya pengetahuan dari sumber daya manusia di bank terhadap sektor pertanian, dan sebaliknya pengetahuan dan persepsi petani pada perbankan maka terbuka peluang meningkatnya transaction cost dan non-marketted transaction cost.

Pendekatan Grameen Bank (GB)

  1. GB tidak mengenakan agunan material diganti dengan kewajiban kelompok (tanggung renteng) berupa sanksi penundaaan kredit lanjutan.
  2. Plafon kredit minimal yang sangat rendah mudah di akses oleh calon debitur, apalagi tanpa jaminan material. Sedangkan pengenaan bunga kredit sesuai pasar mengurangi potensi terjadinya aktifitas rent seeking, akan mengurangi terjadi Adverse Reserve yang berpotensi digunakan untuk usaha di luar pertanian, peluang terjadi Moral Hazard semakin kecil, sehingga kredit tidak mengalami masalah di kemudian hari.
  3. Secara kultural, GB menanamkan disiplin kepada para peminjam melalui code of conduct nya. Jumlah cabang dan “armada penjemputan” yang tersebar mengurangi timbulnya transaction cost bagi kedua belah pihak. Komitmen GB terhadap masyarakat termiskin dan perempuan sangat patut ditiru oleh lembaga perbankan di Indonesia.

Kesimpulan
Ditinjau dari kesesuaian tujuan utama SP3, yaitu untuk mengatasi kesulitan petani kecil menyediakan agunan (collateral) guna menumbuhkan usaha petani/peternak yang berbasis di masyarakat pedesaan, maka program SP3 tidak mampu mengatasi kesulitan petani kecil tersebut. Implikasinya adalah program SP3 harus dicabut dan diganti dengan program yang lebih memihak kepada petani kecil untuk mengatasi kesulitan menyediakan agunan.

Saran
Program yang baru harus benar-benar memihak kepada petani kecil dengan mengambil pelajaran dari yang dilakukan oleh Grameen Bank dengan mengembangkan group borrowing scheme untuk menggantikan sistem agunan material yang selama ini umum dilakukan oleh perbankan di Indonesia. Semoga bermanfaat!

2 komentar:

bondan mengatakan...

Muantabb boss...
blognya juga keren and informative banget..
ntar kalo ketemu ajarin dong bikin blog yang kayak gini ya...

kayaknya FE Unijoyo dah punya macro economist yg handal!

terus berkarya boss

salam

bondan

ris yuwono y nugroho mengatakan...

TQ Boss, saya tunggu terus interaktifnya Mr. Bon Bond dari UNIVERSITY OF QUEENSLAND.